Saat melintas di Jalan Besar Klambir Lima akan terlihat objek bersejarah yang menarik perhatian yaitu, Gudang Pemeraman Tembakau Deli dan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia atau di singkat dengan BPRPI. Di Sumatera Utara, BPRPI berdiri pada Hari Minggu 19 April 1953.
Dalam bahasa lain Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia disebut juga sebagai Pemangku Adat Rakyat Penunggu Indonesia. Agak sulit memahami istilah “Penunggu Indonesia,” jika kita tidak mengetahui secara lengkap kiprah BPRPI yang sesungguhnya.
Sejak di bentuk 63 tahun yang silam, perjuangan BPRPI masih terus berlanjut. Secara ringkas, kiprah yang dilakukan oleh Pemangku Adat Rakyat Penunggu Indonesia-Sumatera Utara (BPRPI) adalah sebagai berikut:
- Sebelum abad XX, tanah-tanah di Sumatera Timur adalah hutan belantara yang oleh penduduk setempat di jadikan sumber kehidupan untuk bertani, berburu, berternak, dan bercocok tanam. Cara bertaninya bukan seperti pertanian modern melainkan membuka hutan dan berpindah-pindah untuk mencari tanah yang subur. Jangan salah diartikan, meski berpindah-pindah membuka hutan tetapi masyarakat adat tidak merusak ekosistem yang ada.
- Kemudian kompeni datang menjajah tanah-tanah di Sumatera Timur dan mengubahnya dari belantara menjadi perkebunan. Akal bulus kompeni mengadakan kontrak kepada“Rakyat Penunggu” dengan jaminan Rakyat Penunggu punya hak atas tanah tersebut untuk ditanami/digarap setelah panen tembakau.
- Jika tanah tidak lagi berfungsi untuk perkebunan dan penanaman tembakau, maka Belanda mengembalikan kepada Rakyat Penunggu. Tetapi, dikemudian hari tahun1942 Belandaa ngkat kaki dan masuklah Jepang sebagai penjajah baru yang mengubah status tanah tersebut dengan cara tanam paksa.
- Kemudian setelah Jepang angkat kaki, kompeni pada tahun 1950-an kembali lagi menjajah Sumatera Timur. Perginya Belanda dan Jepang diikuti dengan berakhirnya Investasi Perkebunan Hindia Belanda dan Sistem Tanam Paksa Jepang. Semua aset-aset pemerintah Hindia Belanda oleh pemerintah Republik Indonesia diambil-alih penguasaannya yang dikenal dengan istilah Nasionalisasi.
Ironisnya, setelah Sumatera Timur bergabung dengan NKRI. Situasi dan kondisi serta status tanah masyarakat adat bukannya tambah jelas malah semakin tidak jelas. Akibatnya seluruh kontrak (konsesi) yang pernah dilakukan oleh rakyat penunggu dengan pemerintah Hindia Belanda tidak lagi di berlakukan.
Puncaknya ketika hak-hak rakyat penunggu yang diterima pada masa Hindia Belanda dihapuskan oleh pemerintah Indonesia, terlebih lagi seluruh tanah-tanah adat yang dijadikan perkebunan tembakau Hindia Belanda dikuasai oleh pemerintah Indonesia.
Situasi ketidak-adilan peralihan hak terutama tanah-tanah adat rakyat penunggu dari pemerintah kolonial (Belanda dan Jepang) kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi titik awal lahirnya Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Tahun 1953.
Baca juga:
Tembakau Deli, Bukan Tembakau Gorila atau Cerutu Kuba
Revolusi Sosial Sumatera Timur 1946, Bagai Hati Tidak Bernadi
Komentar