Selain Masjid Raya Al-Mashun yang berada di Jalan Sisingamangaraja Medan, ada sebuah masjid lagi yang juga memiliki nilai historis namanya “Masjid Zending.” Masjid Zending berada dalam naungan Yayasan Zending Islam Indonesia dengan pendirinya Haji Guru Kitab Sibarani, seorang Kristolog, Penyebar Islam di Toba Porsea, Sumatera Utara.
Kiprah Zending Islam Indonesia (ZII) di Medan, Sumatera Utara mulai dikenal tatkala Haji Guru Kitab Sibarani mengikuti Kongres Umat Islam se-Indonesia di Solo pada tahun 1949. Hasil kongres menunjuk beliau agar menyiarkan Islam di Sumatera Utara, khususnya di Toba.
Kemudian agar penyebaran Islam lebih progres, Haji Guru Kitab Sibarani membuat Yayasan ZII (Zending Islam Indonesia) dan bergabung dengan organisasi keagamaan yang lebih dahulu berdiri di Kota Medan seperti Al-Washliyah, Muhammadiyah, dan Al-Ittihadiyah.
Berdasarkan catatan Drs. H. Abdullah Sinaga (murid H. Guru Kitab Sibarani), Zending Islam Indonesia (ZII) dahulu masih menumpang di Panti Asuhan Al-Washliyah Tanjung Mulia pulau Brayan.
Kemudian, tanggal 22 Oktober 1951 ZII pindah ke Jalan Sisingamangaraja No. 11 A, Medan (sampai sekarang). (Jurnal Penelitian, Medan Agama, Edisi 8, Desember 2008).
Kemudian setelah Yayasan ZII berdiri dilanjutkan dengan membuat ‘Sekolah dan Madrasah Zending Islam Indonesia.’ Di bagian belakang Masjid Zending terdapat sebuah asrama pesantren tempat tinggal para santri.
Desember 2014 silam, asrama santri Yayasan Zending Islam Indonesia pernah terbakar karena arus korsleting listrik. Adapun materi pelajaran yang dipelajari di Madrasah Zending Islam Indonesia sebagaimana sekolah agama pada umumnya.
Seluruh santri yang belajar di Yayasan ZII tidak dikenakan biaya alias gratis dan rata-rata yang belajar di ZII adalah mereka yang termarjinalkan secara sosial dan ekonomi.
Kiprah Zending Islam Indonesia (ZII) dan peran Haji Guru Kitab Sibarani dalam penyebaran Islam di Porsea Toba Samosir (Tobasa) sangat menarik untuk dikaji dan ditafsir ulang. Terlebih lagi apabila menyelami kehidupan Haji Guru Kitab Sibarani yang pada tahun 1934 baru menjadi mualaf (masuk Islam).
Usia beliau ketika itu sudah mencapai 50 tahun. Proses pertama kali beliau membaca syahadat disaksikan oleh Sultan Deli, Sultan Mahmud Ar-Rasyid. Saat itu, Sultan menghadiahkan Alquran dan jam yang terbuat dari kayu bercorak keemasan.
Baca Juga: Mencari Melayu di Tanah Deli, Sebentuk Retrospeksi
Keunikan “Masjid Zending” dilihat dari namanya zending (zénding) yang berarti pekabaran Injil; usaha-usaha menyebarkan agama Kristen; badan-badan penyelenggara (misi) penyebaran agama Kristen. Penamaan ZII (Zending Islam Indonesia) sebagai pelengkap dari zending-zending (misi) lainnya. Bukan Kristen saja yang punya misi penyebaran agama. Islam pun harus memiliki zending tersendiri dengan nilai-nilai Keislamannya
Meski, Kristen dan Islam memiliki semangat untuk menyebarkan nilai-nilai kebajikan. Faktanya, sepanjang ingatan penulis belum pernah terjadi benturan suku, agama, ras yang meruncing kepada pembantaian terhadap suatu kaum.
Paling-paling gesekan kecil yang dipicu provokator agar antar-agama saling membenci dan menistakan satu sama lain. Di Medan, Sumatera Utara, masyarakatnya dewasa dan tau cara bertoleransi dengan benar sehingga saling menghargai antar agama terjaga dengan rapi.
Komentar